Biasanya, tiap kali saya mampir ke pasar-pasar tradisional, khususnya yang bercorakan pecinan alias china town, saya sering menyempatkan diri mampir di salah satu rumah makan atau restoran yang menyediakan menu chinese food. Sebab, saya selalu kangen dan ingin mencicipi lagi dan lagi bihun ala chinese food tersebut. Terutama yang ada di foto paling atas.
Saya tahu, segala bihun (mungkin) sama. Mungkin begitu juga anggapan kalian. Kalian keliru jika beranggapan seperti itu. Malah, bihun-bihun ala chinese food yang sungguh dijual di kawasan pecinan, rasanya sungguh beda. Enak tak terkirakan, pokoknya. Bihunnya lembut. Toge di mana-mana. Kecap tidak terlalu digunakan secara berlebihan. Manisnya juga pas. Ada asin-asin sedikit. Yang intinya, bihun sejenis inilah yang saya sangat sukai.
Saya sendiri bingung mengapa bihun-bihun ala chinese food begitu sedap sekali. Resepnya apa? Di bihun yang digunakan mereka kah? Atau mereka menggunakan bumbu-bumbu dan bahan-bahan khusus? Sebab, jelas bihun sejenis foto pertama (yang di awal tulisan) memang selalu yang terenak daripada bihun jenis foto kedua. Harganya pun lebih mahal yang foto pertama. Rata-rata bihun jenis foto pertama itu dijual di atas harga Rp 25.000.
Masih tetap enak, kok. Apalagi porsinya lumayan banyak. Sebetulnya tak menyesal pula beli di Nasi Goreng Kelenteng, Gading Serpong. 😇 |
Tapi untuk foto kedua (yang mana sampel diambil dari Nasi Goreng Kelenteng yang berada di kawasan Gading Serpong; yang mana dekat SMAK Penabur Gading Serpong), harga saat belinya itu Rp 30.000. Ekspektasi saya: bentuk dan rasanya seperti bihun foto pertama (yang mana sampel diambil dari Pasar 8). Ternyata yang saya dapatkan seperti ini. Ini mirip dengan bihun-bihun yang dijual di tukang mi tek-tek serta di penjual nasi uduk yang berjualan setelah jam 5 pagi. Rasanya memang enak, namun sulit menandingi bihun foto pertama. Mungkin memang benar bahwa cara pembuatan bihun foto pertama itu agak sedikit berbeda dengan bihun foto kedua. Bumbu-bumbu dan/atau bahan-bahannya pun beda (terlebih bihun yang digunakan). Alhasil, kedua sampel ini memiliki bentuk dan rasa yang berbeda-beda.
Masing-masing bihun-bihun ini juga memiliki penggemar-penggemarnya sendiri. Mungkin si Bobby senang dengan bihun foto pertama, tapi Fega lebih menyukai bihun foto kedua. Semuanya lezat, yang itu semua tergantung dari lidah yang mencicipinya. Meskipun demikian, bagi saya, yang terfavorit itu tetap bihun foto pertama.
Omong-omong, kedua bihun sama-sama bisa dinikmati oleh siapapun. Bagi yang berpantangan daging babi, kedua bihun ini sama sekali tak mengandung babi.
No comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan! Komentar-komentar yang bermuatan negatif akan dihapus.