Hasil kolaborasi antara Immanuel Lubis dan Candra Permadi
Aloha! Kali ini dua admin yang ganteng-ganteng ini mau bahas soal perbedaan besar antara film atau drama televisi dari negara Indonesia dengan beberapa negara lain seperti dari Jepang, Korea, India, dan Amerika Serikat. Yuk langsung saja simak!
Indonesia
Bicara soal negara Indonesia, terlebih dari film-filmnya, kita perlu lihat dulu lini masanya. Kalau di tahun 1990-an, film-film tanah air banyak dibanjiri yang bertema dunia peranjangan. Memasuki era 2000-an, semenjak "Petualangan Sherina" muncul, film-film 'ranjang' itu sudah mulai terkikis. Muncul tren baru, apalagi setelah "Ada Apa Dengan Cinta" booming di pasaran (dengan kata-kata Cinta yang memorable sekali: "Trus salah gue? Salah temen-temen gue?"). Film-film Indonesia bergenre romance bertebaran di bioskop-bioskop tanah air. Mulai dari "Janji Joni", "Dealova", hingga "Alexandria".
Bicara soal negara Indonesia, terlebih dari film-filmnya, kita perlu lihat dulu lini masanya. Kalau di tahun 1990-an, film-film tanah air banyak dibanjiri yang bertema dunia peranjangan. Memasuki era 2000-an, semenjak "Petualangan Sherina" muncul, film-film 'ranjang' itu sudah mulai terkikis. Muncul tren baru, apalagi setelah "Ada Apa Dengan Cinta" booming di pasaran (dengan kata-kata Cinta yang memorable sekali: "Trus salah gue? Salah temen-temen gue?"). Film-film Indonesia bergenre romance bertebaran di bioskop-bioskop tanah air. Mulai dari "Janji Joni", "Dealova", hingga "Alexandria".
Lewat dari tahun 2005, gantian film-film bergenre komedi-romantis. Salah satu contohnya, "Mas Senang? Masukin Aja?" yang nyeleneh; atau ada pula "Jomblo" yang sedikit halus (maksudnya tanpa unsur dunia ranjangnya). Dari antara tahun 2005 hingga tahun di mana "Ayat-Ayat Cinta" meledak, film-film yang lagi-lagi membahas soal dunia ranjang kembali menyerbu. Jangan berpikiran mesum dulu, omong-omong. Di sini kadar seksnya tidak blak-blakan. Ada isinya ceritanya tersebut. Malah lebih terkesan sebagai sex education dalam sebuah film. Ambil contoh: "Quickie Express" atau "Namaku Dick".
Kemudian, seperti yang sudah dikatakan di paragraf sebelumnya, sejak "Ayat-Ayat Cinta" meledak di pasaran, film-film bertema religi bermunculan. "Ada Surga di Rumahmu", "Sang Pencerah", "Perempuan Berkalung Sorban", "Tanda Tanya", "3 Doa 3 Cinta", "Sang Pencerah", dan yang tergres, "99 Cahaya di Langit Eropa". Untuk kategori film-film religi, secara garis besarnya, saya bolehlah mengambil kesimpulan bahwa kebanyakan film-film itu cukup berani. Sepertinya para sineasnya mulai berani dalam mengemukakan opininya ke dalam bentuk film. Tak ayal, terkadang jika kita amati, film-film itu bukanlah film-film religi untuk maksud menggurui; justru malah terkesan untuk menampar beberapa pihak (saking kontroversialnya).
Selanjutnya, memasuki tahun 2010, tengah marak film-film yang diangkat dari novel atau buku. Salahkan "Laskar Pelangi". Sebab, jika bukan karena Andrea Hirata, mungkin dunia literasi Indonesia akan terus lesu. Mungkin yang selama ini para pembaca Indonesia lebih melirik buku-buku impor, mereka akhirnya tertarik juga membaca karya anak bangsa. Malah jumlah penulis buku makin membludak saja. Sekarang nama-nama penulis yang beredar di rak-rak toko buku semakin beragam. Tak hanya dikuasai oleh nama-nama yang itu-itu saja. Dan, sepertinya tren film-yang-diangkat-dari-novel masih akan terus berlanjut.
Omong-omong, jika bicara soal ciri khas, ada beberapa hal yang terus digunakan. Pertama, kebanyakan film Indonesia itu tak canggung untuk memasukan adegan orang yang sedang melaksanakan kegiatan keagamaannya. Contoh, adegan orang tengah shalat itu cukup sering dipertontonkan. Yang seperti ini malah jarang sekali dipertunjukkan oleh film-film Amerika. Jarang ada film Amerika yang ada adegan orang sedang berdoa atau baca kitab suci (kalau bukan film religi). Bahkan penyebutan kata 'Tuhan', 'alhamdulillah', 'bismillah', 'insya Allah' lumayan sering terdengar untuk genre apapun.
Ciri khas kedua, untuk film romance, dibandingkan film-film Amerika, Indonesia cukup jago dalam membikin scene-scene romantis tanpa perlu memasukkan adegan-adegan ciuman atau pelukan. Ambil contoh, dalam film "Alexandria", yang mana saya sangat terkesan dengan adegan saat Bagas Gunawan bikin sebuah mural untuk Alexandria Yasmina. Anyway, saya tak sedang membicarakan yang bergenre komedi-romantis, lho. Walaupun, untuk ukuran komedi-romantis dengan tema dunia ranjang, adegan hubungan intimnya itu juga kurang greget.
Yang ketiga, untuk kategori horor, Indonesia piawai sekali dalam membuat film horor dengan unsur ah-uh-ah-uh-nya yang lumayan mendominasi. Bukannya menakuti, eh malah bikin terangsang penontonnya. Kalaupun tak ada unsur dunia ranjangnya, jarang sekali ada film horor yang ada isinya. Maksudnya, penontonnya itu bisa mendapatkan sesuatu, tak hanya adrenalinnya yang dikocok-kocok. Setidaknya seorang penonton bisa tahu tentang sesuatu yang berhubungan dengan dunia supranatural.
Yang keempat, sepertinya Indonesia masih kurang dalam hal film-film yang melibatkan efek-efek khusus. Kebanyakan film Indonesia itu lebih menitikberatkan pada cerita. Kalaupun ada film yang melibatkan efek-efek khusus, bisa dipastikan itu pasti bekerja sama dengan sineas-sineas luar. Jadi kalau kalian ingin mencari film-film dengan adegan tubuh terbelah, darah mengucur deras dari perut (secara natural), manusia loncat-loncat dari satu gedung ke gedung lainnya, hingga golok terbang, jangan cari di film Indonesia. Silakan tonton film Amerika atau Jepang saja.
Kalo ada yang nanya drama Jepang kayak apa gayanya, gue bingung juga gue jawabnya. Gue pribadi termasuk newbie soal drama jejepangan. Mungkin sekitar 2010-an ke sono. Pertama-tama gue nongkrongin Bijou Ka Yajuu (Beauty or the Beast), dorama yang kalo nggak salah nongol di Indonesia taun 2000-an. Gue suka dua karakter utamanya yang saling mengisi. Ceweknya idealis, berorientasi rating, dan fair. Cowoknya lebih supel, nyante, rada cuek, tapi perhatian sama karyawan laen. Gayanya yang nyante ini justru jadi penghubung para karyawan laen ama ibu bos muda yang satu ini.
Ceritanya sendiri sebenernya simpel. Rating TV yang kurang bagus, produser baru didatengin buat ngasih inovasi. Walaupun rating naek mbak prosedur tetep aja pindah ke luar negeri secara rating acara dianggap kurang cetar. Ternyata model cerita begono bukan cuma Beauty or the Beast doang. Beberapa drama profesi, apapun profesinya pake cara yang sama. Drama soal fashion, "Real Cloth" (2008), misalnya. Mentor dateng buat naikin penjualan, episode terakhir doi ke luar negeri buat nyari petualangan baru. Dinner (2013) juga pake formula yang sama. Kali ini mentornya adalah Koki. Gue nggak tau drajep model ini ngebuntut dari mana. Bukan ngga mungkin "Bijou Ka Yajuu" jadi lokomotifnya.
Kesuksesan Doctor, Sawamura Ikki dan Hanzawa Naoki tampaknya ngubah gaya drajep yang cenderung kalem. Kesuksesan bawahan yang inovatif, cerdas, pekerja keras dan sebagainya dijadiin anak tangga buat ngeraih kesuksesan bosnya sekaligus ngejitak saingan bos atasan tersebut. Pengikutnya? Seenggaknya Senriyokugai Sosakan, dorama duo polisi yang saling mengisi, Emi Takei cerdas luar biasa. Takahiro jadi polisi yang lugu kalem. Terlepas dari bagaimana ceritanya, kita rasanya tau siapa yang diuntungkan dari kinerja mereka yang baik.
Drama Jepang entah kenapa doyan bermain di area dewasa, memasukan tema-tema perselingkuhan dan adegan kasur dalam ceritanya. Walaupun terkenal dengan industri film dewasanya, drama Jepang termasuk sopan dan kadang minim cerita romantis. Pergeseran muncul saat "Shitsuren Chocolatier" disambut positif pemirsa, entah kalo ada dorama laen yang ngebahas tema yang sama sebelumya. Secara umum sih, "Shitsuren Chocolatier" bercerita tentang cinta dan coklat, entah kenapa liat episode-episode awal gue nggak pengen nonton, ini murni masalah selera, bukan sok nggak doyan dorama dengan tema nyerempet kasur begini.
Toh nyatanya gue juga menikmati Seijo, cerita tentang perempuan yang diberi cap pemburu pria karena kecantikannya. Dia ditangkap karena banyak kejadian kriminal yang terjadi di sekitar pria yang dikabarkan tengah dekat dengannya, walaupun bukti yang diperoleh ngga gitu kuat. Dengan wajahnya yang menawan, tentu saja kasus Hijii Motoko jadi perhatian media. Dengan peliputan media, nggak sulit menerka arah pendapat masyarakat. Walaupun arah cerita ini sudah jelas, kita diberi ruang untuk melihat cerita ini dari berapa sisi. Bukan hanya dari sisi masyarakat yang mengikuti cerita ini atau istri yang kebetulan suaminya jadi pasangan Motoko, tapi juga dari sisi Motoko dan orang-orang disekitarnya, termasuk pastur di sebuah gereja. Kita bahkan bisa melihat pandangan dari pengacara muda yang kini membelanya, seorang pengacara baru yang pada saat SMA pernah jadi kekasih Motoko (baca: brondong). Dengan melihat cerita dari berbagai sudut pandang, penonton bebas menilai. Mau ikut suara terbanyak silakan, punya pendapat sendiri juga monggo-monggo saja. Yang jelas, penilaian-penilaian dalam Seijo tidak dieksploitasi terlalu tajam, apapun itu. Setidaknya itu gue rasain. Entah karena ceritanya dibuat seperti itu atau memang masyarakat Jepang yang memang tidak terlalu hobi mencampuri urusan orang.
Selain Seijo masih ada Hirugao, yang bercerita tentang istri yang berselingkuh. Ceritanya sendiri saya tidak tahu pasti karena emang nggak terlalu mengikuti. "Second Love", juga nggak jauh-jauh dari tema itu. Ceritanya tentang seorang guru yang punya hubungan romantis sama seorang penari. Ceritanya? Nggak ngikutin sampe abis.
Amerika
Kita bahas yang kekinian saja yah. Jadi, film-film Amerika yang sekarang ini lebih banyak bermain di efek spesial. Tak terhitung film-film keluaran sana yang menggunakan CGI atau komputerisasi. Bahkan sekarang ini yang menggunakan teknik komputerisasi, tak dimonopoli oleh film-film yang memang memerlukannya. Yah seperti film perang, action, horor, thriller, atau yang bertajuk superhero. Yang bergenre drama, komedi, hingga romance pun sudah berkomputerisasi kok.
Kita bahas yang kekinian saja yah. Jadi, film-film Amerika yang sekarang ini lebih banyak bermain di efek spesial. Tak terhitung film-film keluaran sana yang menggunakan CGI atau komputerisasi. Bahkan sekarang ini yang menggunakan teknik komputerisasi, tak dimonopoli oleh film-film yang memang memerlukannya. Yah seperti film perang, action, horor, thriller, atau yang bertajuk superhero. Yang bergenre drama, komedi, hingga romance pun sudah berkomputerisasi kok.
Selain itu, sekarang ini Amerika cenderung mengangkat tema superhero. Daredevil, Spiderman, Superman, Batman, X-Men, hingga segala tokoh dalam komik Marvel nyaris sudah pernah dibuatkan filmnya. Kebanyakan juga film-film tersebut nanggung. Entah itu ceritanya kurang, entah pula efeknya yang kurang greget.
Selain soal superhero, Amerika lagi gencar-gencarnya bikin film yang diangkat dari kisah nyata. Tahun ini saja, pada ajang Academy Awards, kebanyakan nominasinya itu yang diangkat (atau setidaknya) terinspirasi dari kisah nyata. Mulai dari "King's Speech", "The Social Network", "The Wolf of Wall Street", "Lovelace", Gangster Squad", "Decoding Annie Parker", "The Invisible Woman", "The Conjuring", "American Hustle", dan masih banyak yang lainnya.
Bicara soal efek khusus, Amerika memang jagonya. Segalanya rapi terlihat. Jarang sekali terjadi kecolongan, di mana proses rendering-nya itu kurang bersih. Dalam hal efek khusus, mungkin yang bisa jadi pesaingnya itu hanya Jepang dan beberapa negara Eropa seperti Inggris atau Perancis.
Mungkin karena kulturnya yang sejak awal menomorsatukan kebebasan, film-filmnya juga rada berani. Dari era 90-an hingga sekarang, para sineasnya tak ragu untuk memasukkan adegan-adegan ranjang sebagai bahan fan service. Bahkan untuk urusan komedi, slapstick-nya gila-gilaan. Contohnya bisa dilihat dalam dua film komedi-romantis seperti "Harold and Kumar" dan "Euro Trip". Adegan kepala di bawah (Emang ada yah?) itu sudah jamak di film-film Amerika. Jadi, tak usah heran yah! Amerika gitu lho!
India
Gue pribadi termasuk penikmat film india, tapi bukan pemerhati film india. Ketika gue ditanya tentang film india, yang otomatis nongol di otak gue adalah film hindi. Gue sebut film Hindi secara di India bukan cuma ada film Hindi berbahasa Hindi, Tamil, Malayaman pun ada.
Gue pribadi termasuk penikmat film india, tapi bukan pemerhati film india. Ketika gue ditanya tentang film india, yang otomatis nongol di otak gue adalah film hindi. Gue sebut film Hindi secara di India bukan cuma ada film Hindi berbahasa Hindi, Tamil, Malayaman pun ada.
Ngomong-ngomong soal Hindi, gue justru tertarik dengan klan keluarga di Hollywood. Aktor-aktris yang kondang sekarang biasanya punya darah seni dari kakek. ortu, keponakan, sepupu atau beberapa bentuk ikatan keluarga laennya. Emang sih nggak melulu sama-sama aktor atau aktris, kadang ada sutradara atau produser. Aktor Imran Khan, merupakan sepupu Aamir Khan yang kondang sama "Three Idiots"-nya. Kareena Kapoor, Karishma Kapoor, atau Ranbir Kapoor yang sekarang cukup kondang di Bollywood merupakan generasi keempat keluarga Kapoor. Generasi sebelunmnya masih ada Rishii Kapoor pada generasi ketiga dan Raj Kapoor pada generasi kedua. Prithviraj Kapoor, Kapoor generasi pertama konon jadi pionir dunia sinema india. Boleh dibilang keluarga Kapoor jadi generasi awal perfilman India.
Gue sendiri nggak tau banyak soal film India. Gue belom nongol pas India mencapai masa keemasan sekitar taon 1960-an. Jaman Raj Kumar atau Dilip Kapoor. Gue paling sempet denger karakter khas jagoan Bollywood akhir taon 1970-an lewat Don. Kebeneran jaman itu Amitabh Bachan jadi jagoan yang jahat, tepatnya jadi penjahat yang punya wajah mirip sama orang laen Vijay. Saking suksesnya, Don sampe ada remake-nya nyang dimaenin sama Shah Rukh Khan sama Priyanka Chopra, yang jadi Roma adek tangan kanan Don yang dibunuh sama Don. Entah gimana aktor-aktor India bisa sampe tampil jadi polisi-polisian. Dari Salman Khan sampe Akshay Kumar jadi polisi-polisian, sekitar taon 1980an sampe awal 1990-an.
Yang jelas sekitar pertengahan taon 1990-an mulai nongol cerita-cerita Romantis, semacem "Kuch-Kuch Hota Hai" sama pelem-pelem sejenis. Film mulai bergeser ke gaya retro sejak Salman sukses lewat "Daangg, Bodyguard Ek Tha Tiger".
Kesuksesan mereka konon nyampe nyampe 100 crore atau 168 milyar rupiah. Budaya 100 crore konon dimulai sama "Ghajini", film psychological-thriller Aamir Khan, orientasi itu tros ngikut ke "Three Idiots", "Dhoom 3", sampe "PK". Aamir Khan jadi pemecah rekor. Dan karena Cina termasuk pasar yang potensial, beberapa film dikasih rasa Tiongkok termasuk "Dhoom 3". Sejauh ini penggunaan teknologi makin ngetren aja di BOLLYWOOD. Kalo di sono ada "Avengers", di India ada "Ra-One" ama "Krrish" yang pake tekno tinggi.
Secara pribadi, saya malah nggak gitu tertarik nonton Dhoom 3 walaupun ada Katrina Kaif, aktris pujaan Bollywood jaman sekarang. Saya malah lebih demen "Queen" atau "Ek Main Aur Ekk tu", romcom yang ceritanya simpel dan ekpresi Kareena Kapoor dapet banget.
Korea
Pertama mengenal hiburan dari tanah ginseng itu pas "Endless Love" atau yang berjudul asli "Autumn in My Heart" tayang di Indonesia. Itu, lho, yang bercerita soal dua anak perempuan yang tertukar. Saking suksesnya, ide cerita dari "Autumn in My Heart" itu sempat diadaptasi ke dalam banyak sinetron.
Sejak "Autumn in My Heart" itu pula, drama-drama Korea sempat menjajah Indonesia. Demam Korea (dan mungkin K-Pop) melanda negeri ini. Beberapa stasiun televisi, terlebih yang menggunakan logo ikan terbang, hobi menayangkan drama-drama Korea. Heran deh, saya heran sekali, bagusnya drama Korea itu di mana. Yang saya lihat, kebanyakan yang saya simak, drama Korea itu menye-menye sekali. Penggambaran tokoh prianya itu cenderung kewanita-wanitaan; tipe impian wanita banget. Seperti saat si cowok kayaknya hobi menggendong si cewek yang sakit kakinya atau mabuk. Plus, kadang drama-drama Korea suka berlebihan dalam mengeksplorasi adegan-adegan sedihnya. Dan, apa mungkin karena budayanya, drama-drama Korea itu hobi sekali menampilkan orang-orang stress yang melampiaskan stressnya ke minuman alkohol, umumnya soju.
Karena itulah, gara-gara ke-mainstream-an tersebut, sempat rada jijik untuk menonton film-film Korea. Tapi ternyata salah. Ketimbang drama televisinya. Film-film Korea malah lebih kreatif dan masuk akal. Saya banyak belajar soal budaya Korea lebih dalamnya dari film-filmnya. Untuk urusan film layar lebar, para sineasnya itu nyentrik. Bisa saja mereka bikin film tentang apa saja. Soal apapun itu bisa disulap menjadi sebuah film yang menarik untuk disimak dari awal hingga akhir. Dan kebanyakan film Korea itu biasanya baru bisa dimengerti saat sudah berada di tengah-tengah penayangan. Daripada film-film Jepang, film-film Korea itu kebanyakan bertempo lambat serta memiliki ending yang cukup ngehe.
Soal film, mungkin Korea itu cukup jago bikin film-film genre action, thriller, dan fantasi. Untuk urusan horor, Korea masih kalah jauh. Apalagi jika dibandingkan dengan tetangganya. Masih perlu banyak belajar dan belum mempunyai ciri khas seperti yang dimiliki horor Jepang, di mana hantunya suka muncul dengan cara mengendap-endap.
Kembali ke soal drama televisi, walau sangat melankolis dan girly, drama-drama Korea cukup memberikan inspirasi buat mereka yang tengah bikin sebuah cerita yang romantis. Banyak adegan romantis sering diumbar di sana. Salah satunya, saat tokoh ceweknya tengah berbicara pada benda mati, ia curhat begitu, eh mendadak cowok yang dibicarakan malah nongol.
No comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan! Komentar-komentar yang bermuatan negatif akan dihapus.