-->

Konsep Art Of War dalam Animasi Asterix




(Ki-ka) Obelix, Asterix, Panoramix, dan Assurancetourix.
Tak banyak orang yang menyukai komik-komik Western. Kebanyakan orang Indonesia lebih memilih untuk membaca komik-komik Jepang. Para penikmat komik-komik Jepang--seperti Doraemon, Dragon Ball, atau Detektif Conan--sangat mudah ditemukan. Berbeda halnya dengan mereka yang menyukai komik-komik Western seperti Marvel, Lucky Luke, Smurf, Tin-Tin, hingga Asterix. 

Bicara soal Asterix sendiri, belum lama ini komik yang ditulis oleh Gosciny dan Uderzo ini mengeluarkan film animasi terbarunya. Masih tetap diangkat dari salah satu judul komiknya, yaitu "Asterix: The Land of the gods". Bagi yang sudah baca nyaris dari seluruh serial komik Asterix, pasti merasa familier dengan judul film tersebut. Karena memang tak jauh beda dengan versi komiknya, Asterix: Negeri Dewa-Dewa (judul versi Indonesia-nya, red).  

Ceritanya tak jauh berbeda dengan yang di komik. Tak jauh berbeda pula dengan film-film sebelumnya. Tiap pembukaan selalu diawali dengan kisah penaklukan Caesar atas beberapa wilayah Eropa, khususnya lagi Galia (Nama lama dari Perancis). Caesar merasa sudah menguasai seluruh Galia (atau Gaul dalam versi Inggris-nya). Sayang ada satu daerah yang terus memberontak. Daerah itu sebuah desa di pesisir Galia, dimana Asterix, dkk tinggal. 

Ada pun yang bikin Asterix dan lainnya bertahan itu karena ramuan berkhasiat buatan dukun Panoramix. Ramuan itu sudah memberikan kekuatan tak ada tandingannya, sehingga sering bikin legiuner-legiuner Romawi kalang-kabut. Aksi-aksi perlawanan dari Asterix, cs akhirnya bikin Caesar geram. Hingga Caesar membuat sebuah rencana untuk melenyapkan desa Asterix. Land of gods itulah rencana Caesar tersebut. 

Jadi, Caesar berencana membangun semacam kawasan hunian ala Romawi di sekitar desa Asterix itu. Rencananya saat satu persatu bangunan-bangunan selesai dibangun, lalu warga-warga Roma berbondong-bondong menuju land of gods tersebut, Caesar berharap pikiran sebagian besar dari kawan-kawan Asterix itu jadi terlenakan--yang akhirnya membaur pula ke dalam masyarakat Romawi. Dengan seperti itu kan jadi lebih mudah untuk menghancurkan desa kecil nan menyusahkan tersebut. 

Sempat berhasil terlaksana. Walau di awal-awal pembangunan itu sempat mengalami gangguan dari Asterix, Obelix, dan dukun Panoramix, dua buah apartemen ala Romawi berhasil dibangun. Sejumlah warga Roma berduyun-duyun datang. Kemunculan awal warga-warga Roma itu malah sempat juga bikin sebagian besar warga desa Galia itu mengalami yang namanya goncangan kebudayaan (Shock culture). Namun akhirnya terpengaruh juga. Warga-warga Galia itu terpengaruh dengan budaya Romawi. Tradisi-tradisi yang sudah ada pun perlahan berubah mengikuti tradisi-tradisi Romawi. Nah pas di bagian ini, penulis teringat dengan sebuah selentingan: "Rumput tetangga selalu lebih hijau daripada rumput sendiri."

Selanjutnya, sesuai dengan yang ada di komik, teman-teman Asterix--nyaris seluruhnya--memutuskan pindah ke apartemen Romawi tersebut. Alhasil desa itu jadi melompom. Mendengar kabar soal desa itu yang jadi tak berpenghuni lagi, Caesar girang bukan kepalang. Sebab rencananya berhasil. Tak perlu mengorbankan legiuner-legiuner lagi. Hanya cukup dengan cara menunjukkan ke warga desa Galia itu bahwa kebudayaan Romawi jauh lebih baik--yang memaksa mereka harus membaur dengan warga-warga kota Roma yang sudah tiba di land of gods

Oh, sebetulnya tak seratus persen mirip dengan versi komiknya. Seperti film adaptasi lainnya, ada beberapa perbedaan antara versi film layar lebar dengan komiknya. Ada beberapa bagian yang merupakan ide baru tapi tentu saja tak merusak esensi cerita aslinya. Bahkan beberapa ciri khas dalam komik juga masih ada--yang dibikin lebih jenaka lagi. Itu seperti bagian saat warga Galia menjotos sepasukan legiuner Romawi. 

Saat menonton film ini juga, seperti biasanya penulis selalu terbawa perasaan tengah belajar Sejarah lagi. Apalagi di bagian Caesar dan rencana khususnya untuk melenyapkan desa kecil Galia tersebut. Itu mengingatkan penulis dengan cara sama yang dilakukan para kolonialis Eropa atas jajahan-jajahannya di Asia, Afrika, dan Amerika. Bukankah sebagian dari negara-negara penjajah itu juga mempraktekkan cara Caesar tersebut? Yang mana para kolonialis seringkali memaksakan warga jajahannya itu untuk cepat membaur dengan kebudayaan sang kolonialis. 

Selain itu, cara Caesar itu juga mengingatkan penulis dengan sang ahli strategi, Sun Tzu. Salah satu isi dari "Art of War" dari Sun Tzu malah begitu mirip dengan cara Caesar tersebut. Seperti: pura-pura menjadi seekor babi untuk memakan harimau (Bergaya bodoh). Yang mana artinya itu ialah bersembunyi di balik topeng ketololan, mabuk, atau gila untuk menciptakan kebingungan atas tujuan dan motivasi kita sendiri. Tipu lawan kita ke dalam sikap meremehkan kemampuan sampai pada akhirnya terlalu yakin akan diri sendiri sehingga menurunkan level pertahanannya. Pada situasi itulah kita dapat menyerangnya.

Ah sungguh brilian duo sutradara yang membuat film animasi Asterix yang satu ini. Alexandre Astier dan Louis Clichy sukses menerjemahkan salah satu prinsip dalam "Art of War" itu dalam bentuk yang bisa dicerna siapa pun. Termasuk oleh anak-anak sekalipun. Mereka juga tetap sukses membuat Sejarah jadi semakin menyenangkan untuk dipelajari. Selama ini kan, komik Asterix memang berlandaskan sejarah. Dan duo penciptanya--Goscinny dan Uderzo--sudah membikin kita semua jadi belajar soal sejarah masa lampau bangsa Perancis dan jaman keemasan bangsa Romawi. Cara Goscinny dan Uderzo juga yang--menurut penulis--paling efektif untuk mengajak generasi muda belajar sejarah. Yaitu lewat media komik dan humor.

Sayang animo sebagian besar masyarakat Indonesia masih kurang. Di salah satu hari penayangannya pun, penulis tampak begitu kecewa. Sebab banyak sekali bangku kosong melimpah dalam studio. Masyarakat Indonesia tampaknya masih lebih menyukai animasi-animasi Jepang ketimbang animasi-animasi Western. Padahal film animasi "Asterix: The Land of the gods" ini sangat layak ditonton sekali. Tak kalah dengan penayangan Fast and Furious ketujuh yang waktu tayangnya bersamaan dengan "Asterix: The Land of the gods".

Film animasi "Asterix: The Land of the gods" ini sangat direkomendasikan sekali. Bukan hanya untuk fan dari komik Asterix, tapi untuk seluruh masyarakat Indonesia. Meskipun buat yang tak menyimak komiknya akan merasa kebingungan, santai saja. Penulis jamin kalian tetap akan bisa menikmati jalan ceritanya. Apalagi yang bikin film animasi ini semakin layak tonton karena visual dari "Asterix: The Land of the gods" tersebut. Dari segala animasi Asterix sebelumnya, yang ini jauh lebih berkesan. Beberapa lanskap pemandangan yang ada di animasinya jadi terasa hidup. Gerakan-gerakan tokoh animasinya juga seperti dalam sebuah video game. Lucu, tapi juga memberikan kita banyak wawasan soal sejarah.


RATE: 85 / 100



Genre: Family, History, komedi
Produser: Philippe Bony dan Thomas Valentin
Distributor: SND Films
Sutradara: Alexandre Astier dan Louis Clichy
Pengisi Suara: Roger Carel, Guillaume Briat, Lionnel Astier, Serge Papagalli, Florence Foresti,...
Bahasa: Perancis
Subtitle: Inggris dan Indonesia
Durasi: 85 menit
Tanggal Rilis: 26 November 2014

No comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan! Komentar-komentar yang bermuatan negatif akan dihapus.